Kebiasaan istri yang satu ini sering memancing omelan saya: yakni mengumpulkan barang apa saja. Barang-barang yang ia sebut sebagai berguna. Benar barang-barang itu pasti ada gunanya, tetapi faktanya, apapun kegunaannya, ada barang yang tak benar-benar pernah digunakan. Kalaupun digunakan paling sesekali saja.
Selebihnya, kegunaan itu tak pernah dibutuhkan. Maka bagi saya, apapun kegunaan sebuah barang, jika pada akhirnya tak pernah digunakan, ia setara dengan barang tak berguna.
Tetapi betapa aneka barang itu berjejalan di rumah saya. Rumah yang kecil itu semakin mengecil saja karena disesaki barang-barang. Ada kumpulan kliping masakan, mode dan resep obat-obatan. Jika seluruh barang ini hendak saya berangus ke tong sampah, segera disambut jerit histeris istri. Ada pula kumpulan anaka plastik: mulai dari gelas, mangkok, sendok, dan aneka bejana.
Ia berjejalan di aneka tempat yang sebetulnya sudah tidak ada karena sempitnya. Padahal faktanya, kami selalu makan dengan piring yang itu-itu saja, dengan gelas yang juga itu-itu saja. Tegasnya: aneka perkakas plastik itu nyaris tak pernah terdengar fungsinya.
Ada begitu banyak barang yang tidak pernah berfungsi di rumah kita, tetapi selalu kita pertahankan karena kita merasa suatu hari nanti akan dibutuhkan. Mental ‘’merasa’’ inilah persoalannya.
Saya bukan menolak manfaat mental itu, tetapi saya gentar kepada risikonya. Karena ke manapun kita pergi, seluruh indera bisa terkonsentrasi kepada persolaan ini. Jika kami sekeluarga berlibur dan menginap hotel, seluruh barang-barang di hotel sudah diwaspadai. ‘’Mana yang biasa dibawa pulang,’’ kata istri.
Memang ada sedikit barang yang bisa dibawa dan tidak salah juga memanfaatkannya. Tetapi lagi-lagi mental ‘’merasa’’ itulah yang sedang saya awasi. Karena sorang karyawan hotel pernah bercerita kepada saya tentang sebuah drama. Yakni tentang pihak hotel yang terpaksa mengejar tamunya hingga ke bandara, karena si tamu ini ketahuan membawa sprei hotel di dalam kopornya.
‘’Tamu itu tidak miskin. Ia keluarga kaya,’’ jelas karyawan ini. Sprei itu pasti murah saja harganya bagi mereka, barang tidak mendesak pula. Tetapi gatal tangan karena ‘’merasa ada manfaatnya’’ itulah jebakan berbahaya karena bahkan seseorang bisa menilep barang yang nyaris tidak ada gunanya untuk ukuran keluarga kaya.
Cerita ini, jika memang benar, adalah luberan dari mental ‘’merasa’’ ini. Bahwa segala suatu selalu ada gunanya, karenanya semua layak disimpan untuk sebuah kebutuhan bernama entah di kelak kemudian. Bahayanya ialah ketika seluruh barang di dunia ini, rasanya akan kita kumpulkan walau yang benar-benar digunakan pada akhirnya cuma sedikit saja. Pada akhirnya ada barang yang terlalu banyak, rumah yang terlalu besar dan keinginan yang terlalu melebar dari keinginan.
Akhirnya banyak daftar keinginan yang menjadi sampah tidak cuma di dalam ruang tetapi juga di dalam pikiran. Walau dalam beberapa hal, kritik ini harus saya hentikan. Karena saat saya mengetik tulisan ini, malam sedang sangat dingin dan hujan baru saja reda. Lantai rumah saya beku sekali. Kalau ada yang menghangatkan telapak kaki saya, ternyata itu adalah sandal hotel yang pernah dibawa pulang istri, tindakan yang waktu itu tak saya setujui.
(Prie GS/bnol)
diambil dari www.suaramerdeka.com
Serambi
Esai Prie GS
Salah satu rezeki besar manusia ialah diciptakanNya wajah ganda di balik setiap peristiwa. Apa saja memiliki wajah ganda tak terkecuali lupa. Ketika suatu kali mencari kunci mobil pun begitu sulitnya cuma karena lupa ia terletak di mana, jangan buru-buru gusar. Bisa jadi Anda memang diminta untuk menunda sejenak keberangkatan Anda menuju kantor.
Bisa jadi kalau Anda jadi berangkat tepat di waktu yang dijadwalkan Anda akan berpapasan dengan truk berem blong. Maka apa saja peristiwa yang sedang singgah dalam kehidupan kita, walau pahit rasanya, berprasangka baiklah. Ingat saja wajah ganda ini, dan Anda diperbolehkan setiap kali untuk mengambil cuma kebaikannya.
Saya ingin kembali pada soal lupa, lupa kalau hari itu istri berulang tahun. Justru karena lupa inilah saya harus melalukan manuver tambahan agar istri tidak kecewa. Hasilnya tidak buruk. Kami malah memperoleh tambahan kemesraan ekstra karenannya. Jika lupa tak ada, ucapan ulang tahun itu pasti akan berlangsung standar saja. Rutin dan sebagaimana pantasnya saja.
Begitu juga ketika saya lupa membawa HP saat sedang pergi ke luar kota. Begitu buru-burunya saat itu, sehingga yang ada di kepala cuma berangkat secepatnya. Di tengah keberangkatan itulah, di saat nafas sudah mereda, baru ingatan kembali awas pada soal-soal yang semestinya. HP itu, benda yang kedudukannya sudah nyaris seperti istri kedua itu, ternyata tak ada di saku saya seperti biasanya. Anda tahu, di zaman ketika kebutuhan komunikasi sudah semudah ini, kesulitan sedikit saja akan sangat berarti.
Saya segera menjadi orang linglung tanpa benda ini. Tiba-tiba semuanya menjadi gelap dan jauh. Saya serasa dilempar kembali ke masa silam, era ketika cuma untuk mengabarkan saudara yang sakit saja butuh berkirim surat, dan ketika surat telah sampai di alamat, si sakit sudah kembali sehat. Tak ada yang lebih menakutkan di zaman ini seperti ketakutan kita pada hilangnya akses komunikasi.
Ketakutan itu menyadarkan saya, betapa telah terlalu dalam saya tergantung pada benda ini. Maka, ketika ia tak terbawa, itulah saat saya punya kesempatan menenangkan diri, jangan-jangan benda itu telah membuat saya sakit jiwa. Rasanya setiap kali cuma haus melihat bunyi SMS, cuma tegang meraba-raba siapa pengirimnya, apa isinya, kabar menjengkelkan atau kebar gembira.
Jika SMS sedang sepi, maka sayalah yang ganti akan berkirim untuk siapa saja, kepada nama yang tiba-tiba muncul di kepala. Bukan untuk benar-benar berkabar, apalagi untuk mengirim berita penting, tindakan ini ternyata lebih untuk melayani kehausan saya sendiri pada ketergantungan ini. Dan jika sehari saja HP ini berlalu tanpa dering, tanpa pekik SMS, saya seperti orang yang dibuang di sebuah pula terpencil, sepi dan sendiri. Padahal ini jelas halusinasi saya sendiri.
Di sekitar saya, masih tersedia begitu banyak manusia yang bisa saya ajak berkomunikasi. Di antaranya malah pasti akan menyambut saya dengan gembira. Di rumah, ada anak-anak dan istri yang akan selalu menerima saya kapan saja saya membutuhkan mereka. Maka ketika HP tertinggal, saya malah memiliki kesempatan untuk melihat soal-soal lain yang lebih berharga katimbang sekadar nada dering dan bunyi SMS.
(Prie GS/bnol)
Diambil dari www.suaramerdeka.com
Serambi
Esai Prie GS
Posted in : Resonansi