KULINER di Kota Cirebon sangat kaya, tidak hanya empal gentong atau nasi jamblang. Ada satu makanan yang bisa dikatakan hampir “punah” ditelan kemajuan zaman dan perkembangan makanan siap saji. Masyarakat menyebutnya Docang.
Docang adalah makanan khas Cirebon, yang merupakan perpaduan lontong, daun singkong, tauge, dan krupuk putih yang diguyur dengan sayur dage atau tempe gembus yang dihancurkan. Kemudian dikombinasikan dengan parutan kelapa muda.Bila yang membuat kurang terampil, maka hanya akan menghasilkan rasa pahit.
Makanan ini mempunyai rasa khas yang gurih dan nikmat apabila disajikan dalam keadaan panas atau hangat. Sedangkan harga relatif terjangkau semua kalangan.
Biasanya docang disantap untuk mengisi perut di pagi hari. Pada umumnya masyarakat Cirebon dan sekitarnya membeli makanan tersebut sebelum berangkat kerja. Kalau kesiangan sedikit saja, bisa-bisa tidak kebagian. Rata-rata pedagang menjual Docang mulai pukul 06.00 -10.00. Menurut beberapa pedagang docang yang ditemui Warta Kota di Cirebon belum lama ini, kebanyakan mereka meneruskan usaha orangtua. Bisa dikatakan usaha turun temurun.
Seperti yang dilakukan Mang Toha (73). Pria itu sudah berjualan di Gang Rotan I, Karang Getas, Cirebon sejak tahun 1972. Dia mengaku meneruskan usaha sang ayah yang sudah berjualan sejak 1950 di tempat yang sama. Tak mengherankan jika pelanggannya saat ini sudah tiga generasi.
Menurut Mang Toha, docang itu singkatan dari kacang dibodo (dibacem), atau yang dimaksud adalah tempe bungkil. Pembuatan kuah cukup sederhana, gabungan dari kaldu, tempe bungkil dan oncom, salam, serai, jahe, ketumbar, bawang merah dan bawang putih, serta garam.
Setiap hari Mang Toha harus mengayuh sepedanya sejauh 10 kilometer dari Karang Tengah, Plered menuju Karang Getas dengan membawa dua keranjang rotan. Satu keranjang berisi kuali besar kuah docang sedangkan satu keranjang lagi berisi sayuran, lontong dan bumbu-bumbu lain.
Sesampainya di tempat, semua disiapkan. Kuah dage ditambah bumbu merah, seperti cabai yang dihaluskan. Setelah itu barulah ditambahkan bumbu penyedap. Untuk menghindari basi maka kelapa setengah tua diparut di lokasi jualan.
Sejak dahulu tempat berjualan Mang Toha tidak berubah, sama persis dengan peninggalan sang ayah. Tepat di ujung Gang Rotan I. Bagi mereka yang ingin makan di tempat, disediakan meja dan kursi kayu panjang di selasar gang.
Ibrahim (68), salah satu pelanggan setia docang Mang Toha, mengaku sudah sejak generasi pertama menggemari docang. "Dari segi bahan tidak ada perubahan, hanya rasanya yang agak berbeda. Sekarang pakai vetsin di dalam kuahnya, kalu dulu tidak," ujar Ibrahim yang ditemui usai sarapan docang.
Setiap hari, Mang Toha menggelar dagangan mulai pukul 07.30 sampai habis. Tidak tentu waktunya. Jika pembeli ramai, hanya dalam waktu dua jam dagangannya ludes. Seporsi docang Mang Toha dijual seharga Rp 5.000.
Sejarah
Di balik kelezatan makanan ini, rupanya ada sedikit sejarah pada zaman dahulu. Tepatnya pada zaman para wali. Ketika para wali ini menyebarkan agama Islam ke pelosok Jawa, muncullah Pangeran Rengganis yang mempunyai niat untuk membunuh para wali dengan docang. Dialah yang pertama kali membuat docang dan menghidangkannya ke tengah-tengah para wali yang sedang berkumpul di Masjid Sang Cipta Rasa, Keraton Kasepuhan Cirebon. Di kalangan masyarakat Cirebon terdapat tradisi menyantap docang setiap menjelang perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW.
Di Kota Cirebon pedagang docang dapat ditemui di beberapa tempat, misalnya di alun-alun Keraton Kasepuhan, di Pasar Kanoman, di Jalan Fatahillah (kantor Telkom Plered), dan bagi pengunjung dari luar Kota Cirebon dapat dengan mudah menemukannya yaitu di Jalan Tentara Pelajar tak jauh dari Grage Mall. (Dian Anditya Mutiara)
diambil dari http://www1.kompas.com/readkotatua//xml/2010/01/26/17375493/Si.Docang.yang.Nyaris.Hilang